Menulis Karangan Berdasarkan Pengalaman
Pengalaman merupakan modal utama dalam menulis cerita. Namun pengalaman tersebut harus diolah agar menjadi karangan yang baik. Kita dapat menambahnya dengan imajinasi, termasuk imajinai yang tidak mungkin terjadi. Jika dikemas dengan bahasa yang baik, imajinasi akan menjadi bagian cerita yang menarik. Oleh karena itu, pemilihan kata yang tepat sangat diperlukan dalam sebuah karangan. Selain itu, dalam penulisan karangan kita harus memerhatikan penggunaan kaidah bahasa secara tepat.
Tahapan membuat karangan berdasarkan pengalaman adalah sebagai berikut:
1. Tahap Prapenulisan
Sumber Karangan: Kereta Api Bandung
Tahapan membuat karangan berdasarkan pengalaman adalah sebagai berikut:
1. Tahap Prapenulisan
- Ingatlah peristiwa /pengalaman menarik yang akan dijadikan sumber penulisan karangan.
- Urutkan kejadian-kejadian itu menurut urutan waktu
- Buatlah kerangka karangan yang berisi gagasan pokok tiap paragraf
- Kembangkan kerangka karangan tersebut dengan menambahkan beberapa kalimat penjelas.
- Dalam membuat karangan, perhatikan penggunaan ejaan dan pilihan kata yang tepat.
- Berilah judul terhadap karanganmu
- Bacalah kembali karangan yang telah kalian buat
- Perbaikilah jika terdapat kesalahan atau kekurangan menggunakan ejaan dan pilihan kata.
Pengalaman Pertama Naik Kereta Api
Naik kereta api tut tut tut
Siapa hendak turut
Ke Bandung, Surabaya
Bolehlah naik dengan percuma
Demikian sebait lagu anak-anak
yang populer pada tahun 1960-an. “Bolehlah naik dengan percuma?”. Cuma-cuma?
Gratis? Ah tidak mungkin. Kecuali bagi anda, sebagai penumpang, yang tidak
mempunyai harga diri.
Saya masih ingat ketika naik
kereta api untuk pertama kali yaitu tanggal 27 atau 28 Desember 1992
(tanggalnya lupa). Pokoknya, keterangan penjelasnya, keesokan harinya di
Surabaya saya sempat menonton berita di televisi tentang kerusuhan konser
musik rock di Bandung yang diselenggarakan GMR (Generasi Muda Radio) FM
Bandung.
Pada saat itu, saya bersama ibu
saya pergi ke Surabaya naik Kereta Api ekonomi Pasundan jurusan
Bandung-Surabaya. Tempat berangkatnya masih di Stasiun Bandung pada jam 05.40
WIB. Kalau sekarang kan di Stasiun Kiaracondong pada jam 06.10 WIB.
Kami tiba (turun) di Stasiun
Gubeng Kertajaya meskipun Kereta Api Pasundan ini melanjutkan kembali
perjalanannya ke Stasiun Semut. Kalau melihat jadwal kedatangan (jam 19.27
WIB), Kereta Api Pasundan ini tampaknya terlambat hampir dua jam.
Sehari menjelang tahun baru (31
Desember 1992), kami pulang ke Bandung dengan jadwal yang kurang lebih sama.
Namun, kali ini, kami berangkat di Stasiun Semut. Alasannya, sederhana yaitu
agar tempat duduk kami yang memang sudah menjadi haknya tidak diduduki oleh
penumpang lain. Ini memang “penyakit” hingga saat ini. Perhatikan saja, ada
penumpang yang bertiket dan apalagi yang tidak bertiket malah menduduki
tempat duduk orang lain.
Kesan saya ketika naik kereta
api untuk pertama kali itu, membosankan. Mungkin karena waktu tempuhnya yang
lama. Keluarga saya bilang: “berangkat malam, tiba malam” atau “orang lain
sudah beristirahat di rumah, kita masih di kereta api”. Tahu kan
maksudnya? “Berangkat malam, tiba malam” maksudnya kita berangkat pada waktu
yang gelap dan tiba pada waktu yang gelap pula. Lihatlah jadwalnya: 05.40 WIB
s.d. 19.27 WIB. Berbeda dengan sekarang yang waktu berangkatnya sudah terang
(jam 06.10 WIB). Sementara maksud “orang lain sudah beristirahat di rumah,
kita masih di kereta api” yaitu kita merasa “haru” bahwa para penumpang yang
tadi bersama kita sudah beristirahat di rumah, sedangkan kita masih di kereta
api sampai tiba di tempat yang dituju. Memang, suatu perjalanan yang panjang
(lama).
Namun, ada kesan lain yang
khusus. Tampaknya, naik kereta api itu membosankan. Kita melihat persawahan
dan perkebunan terus. Tidak ada “kehidupan” orang. Kalau pun di permukiman,
kita sering kali disuguhi permukiman kumuh yang berada di kawasan pinggir
rel. Benar-benar membosankan.
Akan tetapi, dalam
perkembangannya, perjalanan naik kereta api itu mengasyikkan juga. Kita bisa
menikmati pemandangan alam, stasiun, jembatan, dan terowongan. Di dalamnya
terkandung wisata sejarah. Ada imajinasi.
Itulah cerita pengalaman
pertama saya ketika naik kereta api (Bandung-Surabaya). Pengalaman kedua saya
menikmati perjalanan Bandung-Surabaya (masih menggunakan Kereta Api Pasundan)
yaitu pada tanggal 7 Juni 2001. Tempat berangkatnya kali ini sudah di Stasiun
Kiaracondong pada jam 06.15 WIB. Ketika mengantre untuk membeli tiket (karena
saya berangkat sendiri dan bukan termasuk orang yang ribet), saya
sempat mendengar beberapa obrolan calon penumpang yang merasa kecewa “kok
loketnya baru dibuka, padahal waktunya sudah melewati jam pemberangkatan?”.
Ya, Kereta Api Pasundan memang biasa berangkat jam 05.40 WIB. Saya pun
berangkat dari rumah ke Stasiun Kiaracondong subuh-subuh. Suasana masih
gelap. Namun, sesampai di Stasiun Kiaracondong, saya sempat menikmati kawasan
Stasiun Kiaracondong lebih dahulu. Saya pun sempat melihat dan membaca
informasi di kertas yang ditempel di dinding yang mengabarkan bahwa waktu
pemberangkatan Kereta Api Pasundan jam 06.15 WIB. Wah berubah nih,
pikir saya. Akhirnya, ketika mengantre itu tadi, saya tenang-tenang saja
ketika ada keluhan dari para calon penumpang. (Calon penumpang itu pun merasa
tenang ketika salah seorang security memberitahukan perubahan jadwal
pemberangkatan itu).
Kelak, cerita perjalanan naik
kereta api (Bandung-Surabaya) itu sempat diselingi perjalanan
Bandung-Yogyakarta, Jakarta-Malang (meski turun di Solo), dan
Bandung-Jakarta. Tiket ekonomi, bisnis, dan eksekutif pun sudah pernah saya
alami.
|